Senin, 26 Mei 2014

Uhibbuka Fillah-

Aku Mencintaimu Karena Allah-diambil dari novel

Aini adalah gadis kecil yang tinggal diponpes didaerah Surabaya, setalah lulus dari SMP didaerah Surabaya Aini melanjutkan skolahnya ke SMUN 2 Kediri Aini tidak tinggal di ponpes lagi tidak juga tinggal dengan orangtuanya, Aini tinggal dengan Ustad Hasyim bukan hanya Aini yang tinggal dengan Ustad Hayim tetapi ada juga anak yatim yang tinggal bersamanya, karena Ustad Hasyim sangat baik hati, tetapi ada juga yang masih mempunyai orangtua tinggal bersamanya seperti Dana dan Syaqim, Dana tinggal dirumah Ustad karena keinginan kedua orangtuanya, karena Dana adalah Ikhwan(seorang laki-laki) yang sangat tidak peduli dengan pentingnya tiang agama, tetapi ada juga akhwat(seorang perumpuan) yang tinggal dirumah Ustad Hasyim, walaupun ada ikhwan dan akhwat yang tinggal bersama ustad tetapi mereka tidak saling menyapa seperti remaja pada umumnya.
seperti biasa setiap malam Dana dan Syaqim pergi ke Masjid untuk mendengarkan ceramah.
“Qim itu Aini yang tinggal serumah dengan kita kan.”
“mungkin”
“emangnya kamu tidak pernah menyapanya?”
“tidak dan”
“Payah kau qim”

setelah selesai mendengarkan ceramah Syaqim segera pulang, sedangkan Dana masih dimasjid.
“Assalamu’alaikum, Aini.”
“Wa’alaikumssalam.hmm..siapa ya?”
“Namaku Dana. Aku tinggal dirumah Ustad juga.”
“oh iya? Maaf aku belum hafal.”
“iya, tak apa. Oh iya, kita satu skolah lho. Tapi beda kelas. Aku di 1-A kamu di 1-C.”
Mata Aini membola seolah tak percaya.
“Masya Allah.. kok aku sampai nggak tahu ya?”
“Iya aku berangkatnya siangan, Aini. Sementara kamu, pagi-pagi buta sudah berangkat.”
“Iya, Dan. Sebab aku mampir dulu ke kosan Rini.”
“Iya aku tahu kok, terimakasih ya Aini sudah mau berkenalan dengan aku.”
“Sama-sama. Aku juga senang punya teman satu sekolah disini. Aku duluan ya, Dan. Assalamu’alaikum...”
Seulas senyum melengkung dibibir Aini. Sepasang lesung pipit mendekik menyempurnakan paras manis berbalut jilbab merah hati. Dana terkesiap. Dadanya berdebar.
“Wa..waalaikumssalam, Ain..”
Dana menatap Aini hingga gadis itu hilang dari balik pintu.

Sejak itu Dana, Aini dan Rini sering berangkat sekolah bersama-sama..
Sampai pada saat itu ketika mereka berangkat bersama-sama, tetapi saat itu wajah Aini yang selalu ceria terlihat sangat sedih. Dana dan Rini heran dengan sikap Aini belakangan ini.
“Rin...Aini kenapa ya sama aku? Apa aku mengganggunya?”
“Aku juga ngga tau Dan, yang aku tau sih Aini sering ke TU untuk mengambil surat tapi belakang ini setelah Aini keluar dari TU wajahnya sedih Dan.”
“Apa mungkin suratnya tak ada? Tapi memangnya suratnya dari siapa Rin?.”
“Entahlah dan yang jelas setiap kali Aini membaca suratnya dia suka senyum-senyum sendiri”
“Apa kesedihan Aini ada hubungannya dengan surat itu Rin?.”
“Mungkin, setiap aku menanyakan tentang surat itu dia hanya diam dan bahkan, Aini pernah menangis Dan.”
Dana dan Rini pun terdiam.
Jam demi jam berganti hari, Aini yang selalu ceria sekarang menjadi pendiam, dan bahkan bertemu dirumah pun Aini hanya terdiam tidak menyapa apalagi senyum yang indah tak terlihat lagi diwajahnya, waktunya dihabiskannya dengan mengurung diri dikamar dan membaca Al-Qur’an. Dana yang dulu tak memperdulikan tiang agama sampai pada saat ini Dana selalu hadir setiap kali Ustad Hasyim berceramah, Dana sudah tidak lagi mendengarkan lagu barat semua lagu yang ia punya digantinya dengan lagu-lagu islami, semua sikapnya berubah ketika Dana bertemu dengan Aini.
malam itu Dana mengikuti taklimnya Ustad Hasyim....
        “Dikisahkan dalam sebuah hikayat abadi tentang cinta. Sejak zaman Rasulullah SAW, begitu banyak kisah cinta yang menjadi teladan bagi kita, umat akhirul zaman. Kisah cinta sejadi Khadijah terhadap Rasulullah, kisah cinta Rasulullah terhadap Aisyah yang menggebu-gebu, hatta cinta Ummu Hakim dan Ikrimah, serta cerita Salman al Farishi yang menyedihkan sekaligus menggambarkan kekuatan. Subhanallah. Allah telah menurunkan begitu banyak contoh cerita cinta, dan bagaimana seharusnya umat islam menyikapinya. Sungguh menyilukan keadaan manakala cinta disenyawakan dengan nafsu, hingga tak terlihat lagi pilah-pilah keduanya. Laki-laki dan perumpuan bebas berinteraksi, berkencan tanpa batasan, berpacaran, bahkan melalukan pergaulan bebas. Lalu, berapa kali kita mendengar berita tentang meraka yang bunuh diri akibat cinta tak sampai? Padahal, siapakah pacar? Pacaran yang mereka lalukan adalah dosa, lalu bertambalah dosanya karena bunuh diri. Naudzubilaahi min dzaalik(kami berlindung dari yang demikian itu) lalu, bagaimakah kita meneladani cinta yang tak sampai?
     “Anak-anakku, pernahkah kalian mendengar pepatah bahwa cinta tak harus memiliki? Atau pernahkah kalian mendengar cerita cinta yang melegenda, Romeo Juliet, ataupun Qais dan Layla?”
   “Saya pernah membaca cerita Romeo dan Juliet, Ustad. Cinta antara Romeo dan Juliet tidak dapat disatukan karena perbedaan kaya dan miskin. Mereka berpacaran namun akhirnya harus berakhir tragis. Romeo mati karena menenggak racun, lalu diikuti oleh Juliet yang turut mencium bibir kekasihnya yang belepotan racun,”
jawab Ali, seorang pelajar SMP yang turut aktif mengikuti taklim Ustad Hasyim.
    “Huu.. kecil-kecil paham kisah pacaran nih ye?”
celetuk seorang pelajar yang disambut tawa kecil jamaah  yang lain.
   “Tenang anak-anakku. Memang demikian ceritanya. Dan zaman sekarang, siapapun bebas mengakses cerita-cerita semacam itu dari media-media informasi yang bertebaran. Inilah yang ingin bapak luruskan kali ini.
   Lalu, siapa yang tahu cerita Qais dan Layla?”
   “Saya, Tad. Saya pernah membaca kisah Layla Majnun. Kisah cinta sejadi antara Qais dan Layla yang tak bisa bersatu karena perbedaan kasta. Hampir sama dengan Romi dan Juli. Keduanya dipisahkan oleh kematian hingga Qais menjadi gila karenanya,” tutur Syaqim.
   “Benar, Syaqim. Cerita mereka tak kalah menyedihkan dengan Rome Juliet. Apakah cinta demikian adalah cinta sejati? Apakah cinta sejati harus memiliki hingga jalan apa pun ditemouh untuk bisa bersama?”
   hadirin diam. Tak seorang pun berani menjawab pertanyaan Ustad.
   “Cinta sejati tidak harus memiliki, Nak. Mengapa demikian? Mari kita tengok cerita Salman al Farishi. Ketika itu, Salman merasa sudah waktunya menikah. Dia jatuh hati pada seseorang wanita mukmin dari kalangan Anshar. Demi memperlancar urusan lamarannya, Salman meminta pertolongan sahabat sekaligus saudaranya, Abu Darda’. ‘Subhanallah walhamdulillah...’ begitulah komentar Abu Darda yang begitu gembira. Mereka berpelukan, lantas beriringan menuju rumah wanita Anshar yang salehah.
   “sesampai disana, bagaimanakah jawaban tuan rumah? ‘suatu kehormatan bagi kami menerima kedatangan Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Namun kami mohon maaf atas keterusterangan ini. Dengan mengharap rida Allah, putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama, maka putri kami mengiyakannya’. Jelaslah sudah, wanita salehah itu memilih Abu Darda. Lalu bagaimanakah sikap Salman ketika itu?”
   Hadirin kembali terdiam. Turut larut dalam cerita Ustad Hasyim yang sudah pasti akan berakhir dengan kesedihan.
    “Salman sungguh seorang pecinta sejati. ‘Allahu akbar! Semua mahar dan nafkah yang kusiapkan ini kuserahkan kepada Abu Darda’. Dan aku siap menyaksikan pernikahan kalian!’ demikianlah jawabannya,” terang Ustad.
   “Subhanallah... apakah Salman al Farishi tidak sakit hati, Tad?” tanya Ali.
   “Tentu saja, Nak. Alangkah beratnya menjadi Salman kala itu. Bagaimana perasaannya kira-kira? Gadis yang dipersunting ternyata memilih menikah dengan sahabatnya sendiri. Apakah lantas Salman bunuh diri, atau menjadi gila layaknya Romeo dan Qais?”
Ustad Hasyim lantas tersenyum sebelum melanjutkan ceramahnya kembali. “Subhanallah, begitulah Salman mengajarkan kepada kita tentang cinta tanpa harus memiliki. Sejatinya tidak ada yang kita miliki. Jangankan calon istri, calon suami, bahkan nyawapun bukan milik kita, tetapi milik Allah semata.”
   hadirin terpekur dalam alam pikir masing-masing sembari meresapi setiap nasihat Ustad Hasyim. Angin malam mengembus kencang hatta mengibas-ngibaskan tirai penyekat masjid. Masjid itu seolah-olah merasakan duka dalam hati beberapa pelajar yang esok hari segera bertolak ke daerah asal melanjutkan kuliah ke kota-kota besar.
   “Anak-anakku, beberapa dari kalian mungkin akan segera meninggalkan taklim ini karena melanjutkan pendidikan ke kota lain. Pesan Bapak, janganlah kalian terperosok dalam pemahaman cinta yang keliru. Cinta sejati tidak menyakiti. Ia membawa damai dalam sanubari. Romeo, Qais, dan mereka yang luruh karena cinta, sesungguhnya telah memaknai cinta dengan makna yang salah. Cinta mereka artikan harus memiliki, sehidup semati, hingga ketika orang yang dicintai mati, merekapun turut membunuh diri. Berhati-hatilah, karena setan senantiasa menggoda dari segala arah terutama dengan mengatasnamakan cinta.”
    Dana menunduk. Entah mengapa, kisah cinta yang acap dikisahkan Ustad Hasyim selalu membuatnya meneteskan bening mata. Jauh dalam sanubari, terlisir satu doa agar cintanya dengan Aini adalah cinta sejati. Cinta yang tak menyakiti meski akan seperti apa Allah mengakhirinya.
“Aku bingung qim kenapa belakang ini Aini selalu termenung”
“Apa kamu tidak menanyakannya langsung kepada Aini?”
“Aku sudah menanyakannya, tapi dia hanya terdiam qim”
   Pagi hari, ini adalah hari kelulusan sekolah SMAN 2 Kediri, dimana parkiran yang biasanya sunyi dihari itu parkiran terisi sangat penuh dengan kendaraan, suasana sekolah yang biasanya sunyi dihari itu berubah menjadi sangat ramai, karena banyak orangtua yang mendampingi putra-putrinya dihari itu termasuk orangtua Dana yang hadir pada hari itu.

tunggu lanjutannya okee
orang cantiknya lagi sibuk................

2 komentar:

  1. salam kenal, review yang cantik :) syukron jazakillah...

    BalasHapus
  2. terima kasih mba ririn:) yang telah membuat novel ini sangat bagus:)

    BalasHapus